PEJABAT DAHULU ATAU RAKYAT DAHULU?
Presiden telah menandatangai Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2013
tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Pimpinan Lembaga Negara.
Dengan perpres ini, para menteri, pejabat eselon I, dan pimpinan lembaga
negara dimudahkan untuk berobat ke luar negeri. Seluruh biaya itu
nantinya akan ditanggung oleh negara (KompasCom, 28/12/2013)
Presiden
mempertimbangkan risiko dan beban tugas menteri dan pejabat tertentu,
serta ketua, wakil ketua dan anggota lembaga negara sehingga pemerintah
memutuskan membuat perlindungan kesehatan khusus bagi pejabat negara.
Di
tengah kondisi sebagian besar rakyat yang masih berobat dengan
pelayanan yang minim, kiranya kebijakan itu tidak mencerminkan kepekaan
pemerintah. Banyak rakyat yang sakit hanya dilayani oleh negara dengan
kualitas yang seadanya. Obat, pelayanan, administrasi, peralatan,
perawat, dokter, dan biaya berkualitas “bangsal.” Bahkan banyak pula
rakyat yang tidak mampu berobat sekalipun hanya ke puskesmas.
Prinsip
pelayanan kesehatan oleh negara yang menyatakan rakyat tidak mampu
dijamin oleh negara menjadi sirna. Subsidi negara yang semestinya
diberikan kepada rakyat miskin dan tidak mampu malah diberikan kepada
pejabat yang notabene mampu membiayai pengobatannya sendiri.
Hal
yang menyakitkan hati rakyat lainnya adalah keluarga pejabat pun
diikutkan dalam pengobatan ke luar negeri atas biaya negara. Pelayanan
kesehatan diberikan kepada keluarga Menteri dan Pejabat Tertentu, dan
keluarga Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR-RI, Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), Hakim
Mahkamah Konstitusi (MK), dan Hakim Agung Mahkamah Agung (TribunNewsCom, 28/12/2013).
Selain
para pejabat tingkat pusat, pejabat daerah tertentu pun nantinya dapat
menikmati pengobatan ke luar negeri atas biaya rakyat juga (APBD).
Jumlah pejabat daerah lebih banyak daripada pejabat pusat. Sehingga,
nanti akan bertambah banyak orang Indonesia berobat ke Singapura,
Malaysia, Amerika, Eropa, misalnya.
Kebijakan
ini jelas memperlebar jurang sosial antara rakyat dan pejabatnya.
Perilaku hidup mewah dan konsumtif yang selama ini dipertontonkan oleh
sebagian pejabat akan menjadi-jadi. Bukan hanya dalam keadaan sehat saja
melainkan dalam keadaan sakit pun mereka masih sempat memikirkan
fasilitas yang serba mewah.
Memang
dalam hal berobat orang memikirkan yang penting cepat sehat kembali.
Namun, gaya hidup mewah dipastikan akan mengiringi perilaku dalam
keadaan apa pun, termasuk saat sedang sakit. Bahkan bisa jadi gaya hidup
mewah itu kian kuat, misalnya dengan berobat ke luar negeri kendatipun
di dalam negeri sudah cukup.
Dari
sisi kedokteran dan pelayanan kesehatan kebijakan ini secara tidak
langsung berasumsi bahwa pengobatan di dalam negeri masih tertinggal
dari negara-negara lain. Anggapan seperti itu bukan salah melainkan cara
mengatasinya yang keliru.
Jika
pemerintah masih menganggap pelayanan kesehatan di dalam negeri masih
tertinggal, maka sebaiknya memperkuat dan meningkatkannya. Misalnya,
pemerintah membuat kebijakan yang mendorong pemerkuatan pelayanan
kesehatan di dalam negeri. Bisa juga pemerintah mengirimkan warganegara
ke negara-negara yang maju di bidang kesehatan dengan memberikan
beasiswa sebanyak-banyaknya untuk belajar kedokteran. Bisa juga
pemerintah menurunkan atau menghapus pajak impor alat-alat kedokteran
bahkan memberikan subsidi dengan syarat untuk kepentingan seluruh
rakyat.
Kebijakan
publik apa pun yang dibuat pemerintah hakikatnya adalah untuk
keuntungan publik atau rakyat kebanyakan. Kebijakan itu harus
menguntungkan terutama rakyat. Lalu, Perpres tentang Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan bagi Pimpinan Lembaga Negara menguntungkan siapa?
Dapat
dipahami bila pemerintah berpikiran bahwa pejabat adalah pihak yang
dipercaya rakyat untuk mengelola negara demi kepentingan rakyat. Rakyat
memang punya hak untuk mengurus dan memperjuangkan kepentingannya.
Tetapi ketika kepentingan rakyat yang berbeda-beda hendak diperjuangkan
oleh masing-masing individu akan terjadi konflik. Untuk itulah
diperlukan pemerintah agar kepentingan yang lebih luas dapat diakomodasi
melalui pejabat-pejabat yang ditunjuk dan diangkat secara legal.
Karena
pentingnya kedudukan dan fungsi pejabat itulah kemudian timbul
konsekuensi yaitu menjaga kesehatan pejabat agar dapat menjalankan
fungsinya dengan baik. Bila pejabat sakit, maka negara berkewajiban
menyembuhkannya.
Sampai
di situ logikanya masih bisa diterima. Namun, lain masalah kalau
pemerintah kemudian melebihi etika administrasi dengan memberikan
pelayanan berobat ke luar negeri bagi pejabat. Administrasi negara
memiliki etika dalam bentuk penyelenggaraan negara berpegang pada azas
responsiveness (kepekaan), bukan saja kepekaan manajemen penyelenggaraan
pemerintahan melainkan juga kepekaan terhadap kondisi dan aspirarasi
publik.
Kondisi
pelayanan publik saat ini masih dirasakan sangat rendah dengan masih
banyaknya publik yang belum mendapatkan pelayanan kesehatan yang
memadai. Pemerintah harus mengutamakan solusi untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan kepada rakyat terlebih dulu dibandingkan
mengutamakan pelayanan kesehatan kepada pejabat. Karena, pemerintah
berjalan dengan biaya negara atau rakyat. Uang negara harus terlebih
dulu diperuntukkan untuk kepentingan rakyat.
Kepekaan
pemerintah yang selama ini dirasakan tumpul oleh rakyat itu mestinya
diperbaiki, bukan malah dipelihara apa lagi diperkuat. Pemerintah perlu
mengaca pada para pendiri negara ini yang sangat kuat rasa tanggung
jawabnya sebagai pemimpin untuk kepentingan rakyat.
Contoh
pemimpin yang lebih memikirkan kepentingan rakyat daripada kepentingan
dirinya sebagai pejabat adalah Panglima Besar Jenderal Sudirman. Dalam
masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan beliau masih punya tanggung
jawab yang amat besar kepada negara dan rakyatnya. Padahal kalau mau
beliau pantas untuk beristirahat dari perjuangan karena kondisi
kesehatannya sangat parah dan perlu pengobatan yang intensif.
Dalam
sejarah kita bisa menyaksikan betapa tinggi nilai tanggung jawab pada
Panglima Besar Jenderal Sudirman. Karena tanggung jawab dan kepekaannya
kepada bangsa itulah, maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan
untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia
berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke
gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga
hampir-hampir tidak ada. Tetapi kepada pasukannya ia selalu memberi
semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya.
Melihat
keadaan itu, Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk
tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu
tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan
perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai
pemimpin tentara.
Para
pengawal dan pengikutnya dalam bergerilya juga tinggi rasa tanggung
jawabnya. Diriwayatkan, untuk menghindari musuh gerilya Sudirman
kadang-kadang harus cepat berlari menghindar dari musuh.
Saat itu Sudirman sempat harus diselamatkan dengan
digendong oleh pengawalnya, Tjokropranolo (yang di kemudian hari menjadi
pemimpin di DKI sebagai Gubernur). Sambil menggendong Sudirman,
Tjokropranolo melompati pagar yang dalam keadaan normal tak mungkin
dilakukannya (buku Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia: Kisah Seorang Pengawal oleh Tjokropranolo dan Marzuki Arifin, ed.)
Kisah
para pemimpin generasi sebelum kita dapat dijadikan teladan, khususnya
dalam memikul tanggung jawab dan kepekaan terhadap kondisi rakyat saat
ini. Memang tidak semua hal harus dicontoh persis tetapi jiwa
kepemimpinannyalah yang patut diteladani. Tidak harus pemimpin zaman
sekarang harus menggendong atasannya untuk melompati pagar, bukan? Tentu
saja kita tidak mungkin berharap kepada gubernur Jokowi untuk
menggendong menteri Gamawan Fauzi untuk melompati pagar
http://politik.kompasiana.com/2013/12/30/rakyat-membiayai-pejabat-berobat-ke-luar-negeri-620684.html