Senin, 30 Desember 2013

PEJABAT DAHULU ATAU RAKYAT DAHULU?
Presiden telah menandatangai Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2013 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Pimpinan Lembaga Negara. Dengan perpres ini, para menteri, pejabat eselon I, dan pimpinan lembaga negara dimudahkan untuk berobat ke luar negeri. Seluruh biaya itu nantinya akan ditanggung oleh negara (KompasCom, 28/12/2013)
Presiden mempertimbangkan risiko dan beban tugas menteri dan pejabat tertentu, serta ketua, wakil ketua dan anggota lembaga negara sehingga pemerintah memutuskan membuat perlindungan kesehatan khusus bagi pejabat negara.
Di tengah kondisi sebagian besar rakyat yang masih berobat dengan pelayanan yang minim, kiranya kebijakan itu tidak mencerminkan kepekaan pemerintah. Banyak rakyat yang sakit hanya dilayani oleh negara dengan kualitas yang seadanya. Obat, pelayanan, administrasi, peralatan, perawat, dokter, dan biaya berkualitas “bangsal.” Bahkan banyak pula rakyat yang tidak mampu berobat sekalipun hanya ke puskesmas.
Prinsip pelayanan kesehatan oleh negara yang menyatakan rakyat tidak mampu dijamin oleh negara menjadi sirna. Subsidi negara yang semestinya diberikan kepada rakyat miskin dan tidak mampu malah diberikan kepada pejabat yang notabene mampu membiayai pengobatannya sendiri.
Hal yang menyakitkan hati rakyat lainnya adalah keluarga pejabat pun diikutkan dalam pengobatan ke luar negeri atas biaya negara. Pelayanan kesehatan diberikan kepada keluarga Menteri dan Pejabat Tertentu, dan keluarga Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR-RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), dan Hakim Agung Mahkamah Agung (TribunNewsCom, 28/12/2013).
Selain para pejabat tingkat pusat, pejabat daerah tertentu pun nantinya dapat menikmati pengobatan ke luar negeri atas biaya rakyat juga (APBD). Jumlah pejabat daerah lebih banyak daripada pejabat pusat. Sehingga, nanti akan bertambah banyak orang Indonesia berobat ke Singapura, Malaysia, Amerika, Eropa, misalnya.
Kebijakan ini jelas memperlebar jurang sosial antara rakyat dan pejabatnya. Perilaku hidup mewah dan konsumtif yang selama ini dipertontonkan oleh sebagian pejabat akan menjadi-jadi. Bukan hanya dalam keadaan sehat saja melainkan dalam keadaan sakit pun mereka masih sempat memikirkan fasilitas yang serba mewah.
Memang dalam hal berobat orang memikirkan yang penting cepat sehat kembali. Namun, gaya hidup mewah dipastikan akan mengiringi perilaku dalam keadaan apa pun, termasuk saat sedang sakit. Bahkan bisa jadi gaya hidup mewah itu kian kuat, misalnya dengan berobat ke luar negeri kendatipun di dalam negeri sudah cukup.
Dari sisi kedokteran dan pelayanan kesehatan kebijakan ini secara tidak langsung berasumsi bahwa pengobatan di dalam negeri masih tertinggal dari negara-negara lain. Anggapan seperti itu bukan salah melainkan cara mengatasinya yang keliru.
Jika pemerintah masih menganggap pelayanan kesehatan di dalam negeri masih tertinggal, maka sebaiknya memperkuat dan meningkatkannya. Misalnya, pemerintah membuat kebijakan yang mendorong pemerkuatan pelayanan kesehatan di dalam negeri. Bisa juga pemerintah mengirimkan warganegara ke negara-negara yang maju di bidang kesehatan dengan memberikan beasiswa sebanyak-banyaknya untuk belajar kedokteran. Bisa juga pemerintah menurunkan atau menghapus pajak impor alat-alat kedokteran bahkan memberikan subsidi dengan syarat untuk kepentingan seluruh rakyat.
Kebijakan publik apa pun yang dibuat pemerintah hakikatnya adalah untuk keuntungan publik atau rakyat kebanyakan. Kebijakan itu harus menguntungkan terutama rakyat. Lalu, Perpres tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Pimpinan Lembaga Negara menguntungkan siapa?
Dapat dipahami bila pemerintah berpikiran bahwa pejabat adalah pihak yang dipercaya rakyat untuk mengelola negara demi kepentingan rakyat. Rakyat memang punya hak untuk mengurus dan memperjuangkan kepentingannya. Tetapi ketika kepentingan rakyat yang berbeda-beda hendak diperjuangkan oleh masing-masing individu akan terjadi konflik. Untuk itulah diperlukan pemerintah agar kepentingan yang lebih luas dapat diakomodasi melalui pejabat-pejabat yang ditunjuk dan diangkat secara legal.
Karena pentingnya kedudukan dan fungsi pejabat itulah kemudian timbul konsekuensi yaitu menjaga kesehatan pejabat agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Bila pejabat sakit, maka negara berkewajiban menyembuhkannya.
Sampai di situ logikanya masih bisa diterima. Namun, lain masalah kalau pemerintah kemudian melebihi etika administrasi dengan memberikan pelayanan berobat ke luar negeri bagi pejabat. Administrasi negara memiliki etika dalam bentuk penyelenggaraan negara berpegang pada azas responsiveness (kepekaan), bukan saja kepekaan manajemen penyelenggaraan pemerintahan melainkan juga kepekaan terhadap kondisi dan aspirarasi publik.
Kondisi pelayanan publik saat ini masih dirasakan sangat rendah dengan masih banyaknya publik yang belum mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Pemerintah harus mengutamakan solusi untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada rakyat terlebih dulu dibandingkan mengutamakan pelayanan kesehatan kepada pejabat. Karena, pemerintah berjalan dengan biaya negara atau rakyat. Uang negara harus terlebih dulu diperuntukkan untuk kepentingan rakyat.
Kepekaan pemerintah yang selama ini dirasakan tumpul oleh rakyat itu mestinya diperbaiki, bukan malah dipelihara apa lagi diperkuat. Pemerintah perlu mengaca pada para pendiri negara ini yang sangat kuat rasa tanggung jawabnya sebagai pemimpin untuk kepentingan rakyat.
Contoh pemimpin yang lebih memikirkan kepentingan rakyat daripada kepentingan dirinya sebagai pejabat adalah Panglima Besar Jenderal Sudirman. Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan beliau masih punya tanggung jawab yang amat besar kepada negara dan rakyatnya. Padahal kalau mau beliau pantas untuk beristirahat dari perjuangan karena kondisi kesehatannya sangat parah dan perlu pengobatan yang intensif.
Dalam sejarah kita bisa menyaksikan betapa tinggi nilai tanggung jawab pada Panglima Besar Jenderal Sudirman. Karena tanggung jawab dan kepekaannya kepada bangsa itulah, maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tetapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya.
Melihat keadaan itu, Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.
Para pengawal dan pengikutnya dalam bergerilya juga tinggi rasa tanggung jawabnya. Diriwayatkan, untuk menghindari musuh gerilya Sudirman kadang-kadang harus cepat berlari menghindar dari musuh.
Saat itu Sudirman sempat harus diselamatkan dengan digendong oleh pengawalnya, Tjokropranolo (yang di kemudian hari menjadi pemimpin di DKI sebagai Gubernur). Sambil menggendong Sudirman, Tjokropranolo melompati pagar yang dalam keadaan normal tak mungkin dilakukannya (buku Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia: Kisah Seorang Pengawal oleh Tjokropranolo dan Marzuki Arifin, ed.)
Kisah para pemimpin generasi sebelum kita dapat dijadikan teladan, khususnya dalam memikul tanggung jawab dan kepekaan terhadap kondisi rakyat saat ini. Memang tidak semua hal harus dicontoh persis tetapi jiwa kepemimpinannyalah yang patut diteladani. Tidak harus pemimpin zaman sekarang harus menggendong atasannya untuk melompati pagar, bukan? Tentu saja kita tidak mungkin berharap kepada gubernur Jokowi untuk menggendong menteri Gamawan Fauzi untuk melompati pagar


http://politik.kompasiana.com/2013/12/30/rakyat-membiayai-pejabat-berobat-ke-luar-negeri-620684.html

Tidak ada komentar:

Manusia Ruang dan Waktu dalam Sejarah Ruang dan waktu dalam sejarah juga dikenal sebagai suatu konsep dimensi spasial dan temporal. Dimensi ...